Aksi brutal berbalut penegakan hukum kembali diperlihatkan ke tengah masyarakat. Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, yang dikenal konsisten memperjuangkan hak masyarakat adat dikriminalisasi dan dituding melakukan praktik korupsi. Alih-alih terbukti, argumentasi dan bukti yang disodorkan aparat penegak hukum justru semakin menguatkan indikasi adanya rekayasa penanganan perkara. Bahkan, proses hukum yang dipaksakan ini patut dipandang sebagai upaya pembungkaman suara kritis masyarakat.
Sebagaimana diketahui, dalam waktu dekat, tepatnya Rabu, 15 Juni 2022 majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya akan membacakan putusan terhadap terdakwa Willem, setelah sebelumnya ia dituntut 1 tahun 6 bulan penjara oleh penuntut umum. Secara sederhana, apa yang dilakukan oleh Willem merupakan hal wajar dan mudah dipahami oleh masyarakat. Bagaimana tidak, Willem sebagai Kepala Desa Kinipan mengalokasikan dan membayar biaya pembangunan jalan untuk kebutuhan masyarakat sekitar yang telah selesai dikerjakan tahun 2017 lalu. Namun, tak lama pasca pembayaran ia malah ditetapkan tersangka oleh kepolisian yang berujung hingga proses persidangan. Landasan yuridis tudingan aparat penegak hukum terkait adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Willem dan telah merugikan keuangan negara hanya penilaian subjektif semata, tanpa bisa membuktikannya secara konkret.
Permasalahan hukum yang dialamatkan kepada Willem saat ini tentu sulit jika tidak turut memasukkan faktor rekam jejaknya di Desa Kinipan. Ia diketahui bertindak aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat adat yang diduga akan dirampas karena adanya aktivitas korporasi besar di sana. Mirisnya, dengan kondisi seperti itu, Bupati Lamandau terlihat pasif tanpa bertindak melindungi masyarakatnya sendiri. Atas dasar fakta ini kemudian banyak pihak membangun konstruksi kausalitas dengan perkara yang sedang menjerat Willem ini. Sederhananya, bukan tidak mungkin aktivitas Willem yang dipandang kerap berseberangan dengan pemerintah menjadi pemicu utama di balik kriminalisasi dirinya.
Maka dari itu, oleh karena persidangan sudah memasuki masa akhir, kami ingin mengingatkan majelis hakim agar objektif, profesional, dan independen saat memutus perkara yang menjerat Willem. Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan urgensi bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Seperti yang banyak disinggung dalam proses persidangan, pembangunan jalan di Desa Kinipan ditujukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat sekitar, bukan justru seperti tudingan aparat penegak hukum kepada Willem.
Kedua, putusan majelis hakim akan menentukan iklim demokrasi masyarakat adat mendatang. Seperti dijelaskan sebelumnya, sebagai Kepala Desa Kinipan, Willem dikenal sebagai figur yang konsisten menjaga hak-hak masyarakat adat. Pada masa mendatang, jika kemudian Willem dinyatakan bersalah, hampir dipastikan advokasi masyarakat adat di wilayah lain akan diwarnai dengan praktik serupa, yakni pemaksaan proses penegakan hukum.
Atas dasar penjelasan di atas, maka kami mendesak agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya membebaskan Willem dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Jakarta, 14 Juni 2022
Pendukung Surat Terbuka
1. Busyro Muqoddas (Ketua KPK 2010-2011)
2. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK 2011-2015)
3. Abraham Samad (Ketua KPK 2011-2015)
4. Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK 2015-2019)
5. Febri Diansyah (Juru Bicara KPK 2016-2019)
6. Indonesia Corruption Watch
7. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
8. Seknas FITRA
9. LBH Palangka Raya
10. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
11. WALHI
12. Greenpeace Indonesia
13. Henry Thomas Simarmata (Indonesian Institute for Law & Human Rights)
14. debtWATCH Indonesia
15. JPIC Kalimantan
16. Akar Law Office
17. PBHI Nasional
18. Extinction Rebellion Indonesia
19. Jeda Untuk Iklim
20. Partai Hijau Indonesia
21. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
22. SAKSI FH Unmul
23. KIKA
24. Bangsa Mahasiswa
25. MCW Malang
26. Nomaden Institute Samarinda
27. Aksi kamisan kaltim
28. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
29. Save Our Borneo (SOB)
30. AMAN Kalimantan Tengah
31. WALHI Kalimantan Tengah
32. IM57+ Institute
33. Phatri Kediri
34. Papanjati Jawa timur
35. Sertawangi Banyuwangi
36. Sawit Watch
37. HuMA
38. Solidaritas Advokat Indonesia (SAI)
39. Wahyu Wagiman (Managing Director BHR Institute)
40. Public Interest Lawyer Network (PIL-NET)
41. International NGOs Forum on Indonesian Development (INFID)
42. LBH Surabaya
43. Pukat UGM
44. TuK Indonesia
45. The Institute for Ecosoc Rights
46. Forest Watch Indonesia (FWI)
47. Kaoem Telapak
48. Parlin Bayu Hutabarat, S.H, M.H (Law Office Parlin Hutabarat & Partners)
49. Papua Forest Watch
50. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
51. Auriga Nusantara
52. LBH Respublica
53. Pusat Studi Anti-Korupsi & Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya
54. LMND Kota Palangka Raya.
55. Yayasan Betang Borneo Indonesia
56. BEM F. pertanian UPR
57. Louise Theresia (Akademis UPR)
58. Pusat Kajian Bantuan Hukum dan Anti Korupsi LPPM Universitas Palangka Raya
59. Pantau Gambut
60. WALHI JATIM
61. Aliansi Selamatkan Malang Raya
62. WALHI JATENG
63. WALHI JOGJAKARTA
64. WALHI DKI JAKARTA
65. WALHI BENGKULU
65. WALHI MALUKU UTARA
66. WALHI JAWA BARAT
67. WALHI SULAWESI SELATAN
68. Selamatkan Hutan Hujan
69. Agus Sutomo Teraju Foundation
70. Moses Thomas – Masyarakat Adat.
71. Tariu Borneo Bangkule Rajakng ( TBBR).
72. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)