Search
Close this search box.

Rayah Juang Kinipan

Luapan hati seorang perempuan yang menyayangi alam. Lagunya berisi sindiran.

Oleh: Pinarsita Juliana

Ongah Rani saat sedang sibuk memasak nasi di dapur untuk bekal pergi ke ladang.

KEPULAN asap menghambur keluar dari bekas panci penanak listrik di atas kompor gas. Gelembung air mendidih semakin berkurang diserap beras yang sudah hampir matang. Dengan sendok kayu ia mengaduk isi panci. Bau harum menyeruak memenuhi ruang dapur kayunya. Bau air mendidih bercampur harum padi baru.

“Ini beras kita dari ladang sendiri,” kata Arnia Rani sambil tersenyum sementara tangannya masih mengaduk. Wajahnya sumringah, padahal ia harus bangun pagi untuk mempersiapkan bekal ke ladang.

Ongah Rani, begitu ia biasa dipanggil. Bukan tanpa sebab sebutan Ongah diberikan padanya. Ongah dalam bahasa Dayak Tomun berarti tante atau paman yang lahir sebagai anak tengah. Ia memiliki kakak di atasnya dan adik setelahnya.

Menariknya, tidak cuma Rani yang dipanggil Ongah tetapi juga suaminya, Kartinus atau Ongah Inus. Umur dan posisi mereka dalam keluarga sama, si anak tengah.

Aku mengenal Rani sejak 2019. Perjumpaan kami dimulai di rumah Pangkong, mantan demang atau kepala adat Kecamatan Batang Kawa.

Rumah kayu warna coklat kehitaman itu jadi saksi. Tepat di depan sebuah kamar yang jadi satu-satunya sekat di ruang tengah, Effendi Buhing yang kala itu menjabat ketua komunitas adat Laman Kinipan dan kelima rekannya berkumpul. Mereka duduk lesehan. Masing-masing mengenakan takulu, topi tradisional khas Dayak Tomun dengan beragam motif batik khas Kalimantan Tengah (Kalteng).

Buhing, lelaki berusia 50 tahun, memimpin dan mengatur kelima rekannya menyusun alat-alat musik serta posisi duduk. Ada tatawak atau gong digantung pada sebuah kayu yang dipasang melintang di bagian sudut atas ruangan dekat jendela depan. Tujuh kalinang berjejer sejajar pada rak kayu datar persegi panjang. Ada juga gendang dan kakansi serupa simbal. Bagondang sebutan untuk semuanya.

Ketika semua siap, Buhing justru terlihat agak gelisah. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari sesuatu. “Nah, sini am Ngah,” kata Buhing.

Perempuan berusia 60 tahunan kemudian datang dan duduk di antara pemain gendang dan kakansi. Perempuan itu adalah Ongah Rani.

Guratan-guratan keriput di sekitar matanya tampak jelas saat ia tersenyum lembut ke arahku. Bibirnya berwarna merah terang karena menginang. Namun, justru warna itu yang mempercantik wajah oval berkulit cokelatnya.

Ia juga mengenakan takulu, sama seperti para bapak. Baju dan takulunya berwarna dan bermotif batik Kalteng senada.

Beberapa saat mereka sibuk satu sama lain berbicara dengan bahasa mereka. Sesekali Ongah Rani bersenandung, mengingat syair yang ingin ia lantunkan.

“Oke, kita siap,” kata Buhing.

Ongah Rani mulai mengeluarkan suaranya.

Ongah Rani bersama para bapak bersiap melantunkan rayah

“Sayangkam jaya saka wijaya, mari dibuka setengah hari am
Kalau Bupati tidak percaya, belahlah dada lihatlah hati kami.
Ukir-ukir tanah Betawi, kayu ulin habis dijual
Bepikir-pikir di dalam hati, jangan nanti hundin menyesal.”

“Tak dung-dung tak-tak-tak…,” suara pukulan gendang menyambut sesaat setelah syair selesai dilantunkan. Kemudian, musik bagondang menyempurnakan semuanya.

Rayah, itulah sebutan syair pantun yang Ongah Rani nyanyikan.

Rayah yang tidak biasa karena berisi kritik kepada bupati Lamandau di Kalteng. Kebijakan bupati yang mengizinkan pembabatan hutan dan wilayah adat Kinipan oleh PT Sawit Mandiri Lestari (PT SML) untuk perkebunan kelapa sawit mendapat penolakan keras dari masyarakat Kinipan.

Setelah pertemuan pertama itu, aku semakin sering bertemu Ongah Rani, termasuk hari ini saat kami akan mengunjungi ladangnya. Kami memang sering masuk hutan bersama, tetapi untuk ke ladangnya, inilah yang pertama.

Rani bilang ladang padinya berada di Sungai Inuhan. Sekitar 20-30 menit menggunakan cesh, perahu mesin sederhana. Dilanjutkan berjalan kaki sekitar setengah hingga satu jam tergantung kecepatan kaki kami.

Beras baru hasil dari ladang Ongah Rani tampak mendidih di dalam panci bekas penanak nasi listrik.

NASI sudah masak, padat dan pulen tetapi tak juga berwarna putih bersih layaknya beras-beras yang dijual di supermarket. Ongah Rani beranjak dari depan kompor ke rak piring stenlis. Ia mengambil satu helai pelepah pinang (upih) kering berwarna agak cokelat muda. Cukup lebar ukurannya, kurang lebih satu jengkal yang direntangkan. Kaku pelepahnya.

“Upih ini hebat, buat nasi tetap harum bahkan tahan dua sampai tiga hari asal terbungkus rapat,” ujar Ongah.

Ia mengambil masing-masing ujung upih dan menyatukannya di tengah. Ada semacam akar yang ia gunakan untuk mengikat dan menyatukan upihnya erat. “Ini juga bisa kita pakai berulang kali, tinggal dicuci dengan air,” lanjut Ongah.

Di sisi lain dapur Ongah Inus juga sibuk. Ia duduk di lantai, tepat di bawah satu-satunya jendela dapur. Ia memasukkan dan menyusun daun-daun sirih ke dalam plastik transparan. Dari dalam tas ransel mungilnya, ia mengeluarkan satu plastik ukuran sedang berisi tembakau. Tidak membuka tetapi hanya merapatkan perekat di bagian atas plastik itu.

Ia membuka tutup semacam kotak kecil bekas minyak rambut pria yang diganti isinya menjadi kapur.

Ongah Inus menatap sekilas. “Ini sangu,” kata Ongah Inus sambil tersenyum. Sangu artinya bekal. Sambil terus melanjutkan aktivitas memasukkan sangu ke dalam tas, bibir merah Ongah Inus tetap melengkung, membuat garis-garis usia di wajahnya tampak jelas selain dari rambutnya yang memutih.

“Kami berdua nanti bermalam di ladang kan. Makanya, Ongah bawa sangu untuk menginang,” kata Ongah Rani sambil mengaduk teh.

“Uu….,” panggil seseorang nyaring dari pintu depan. “Masuk ja,” teriak Ongah Rani dari dapur. Suara memang harus nyaring mengingat jarak antara pintu depan dan dapur cukup jauh. “Datang am Pak Yono,” kata Ongah.

Yono asli orang Kinipan. Kulitnya hitam legam, matanya bulat, rambutnya keriting bak orang Flores. Sebelumnya ia sempat hidup berkelana di luar kampung cukup lama. Menikah dengan seorang perempuan Jawa dan menganut agama Muslim, berbeda dari kebanyakan orang Kinipan yang beragama Kristen. Namun, perbedaan agama tidak membuat ia dan keluarganya merasa asing di kampung.

Ongah menyuguhkan Yono kopi hitam. “Sudah siap am?” tanyanya. Yono mengangguk mengiyakan. Perjalanan ini akan menggunakan dua cesh. Satu dikendarai Yono, satunya lagi dikemudikan Ongah Inus.

Sekitar pukul delapan pagi, semua turun dari rumah Ongah ke dermaga Kinipan. Di sana kedua perahu sudah merapat di bibir dermaga. Tak lupa Ongah Rani membawa serta dua anjing berbulu pirang miliknya. “Mereka ini temanku nanti di ladang,” katanya sambil memeluk keduanya di dalam perahu agar tak meloncat keluar.

Tali mesin perahu ditarik, bunyi bising langsung menyeruak. Ongas Inus yang pertama melaju dengan perahu yang diisi ia, istrinya, dan kedua ekor anjing. Sementara perahu kami menyusul setelahnya.

Ongah rani dan salah satu anjing kesayangannya sedang bersiap berangkat dengan cesh.

AKU ingat, berselang tiga tahun sejak pertama kali mendengar rayah Rani, aku berbincang dengan Berkat Arus, lelaki berusia kurang dari separuh abad yang jadi ketua Komunitas Adat Laman Kinipan terpilih tahun 2022. “Rayah adalah sebuah karya sastra,” katanya.

Saat itu matahari sudah tak terlihat dari atas puncak bukit Serayukan. Dari 540 meter di atas permukaan laut (mdpl), Kinipan tampak hanya diterangi beberapa lampu samar. Belum ada listrik negara yang masuk ke sana.

“Syair atau kata-katanya dilantunkan menjadi lagu. Penyanyi yang menciptakan lagu. Kata-kata dalam rayah memang harus dikarang sendiri,” lanjut Berkat.

Remang-remang cahaya api unggun jadi satu-satunya sumber cahaya bagi tenda terpal biru tempat beristirahat. Meski begitu, mata sayu Berkat dan kumis hitam-putih di wajahnya yang selalu jadi ciri khas masih dapat terlihat jelas. “Rayah bisa digunakan di mana saja, baik untuk adat bahkan yang bersifat umum. Seperti yang ibu Rani lakukan, sebagai alat perjuangan Kinipan,” katanya.

Baginya, rayah Rani adalah bentuk luapan hati seorang perempuan yang menyayangi alam tetapi bersedih melihat keadaannya sekarang. “Ini bentuk kemarahan yang tidak bisa langsung ia sampaikan ke perusahaan. Sehingga lagunya berisi sindiran, pelampiasan dari emosi.”

Rani dan Berkat sama-sama pejuang Kinipan. Sejak 2012, tak sekalipun mereka absen dalam penolakan terhadap investasi perkebunan kelapa sawit di wilayah Kinipan. Di tahun yang sama, penolakan sudah mereka tegaskan dalam sosialisasi yang dilakukan PT SML.

Sayangnya, justru pada tahun itu pula PT SML pertama kali memperoleh izin lokasi dan usaha perkebunan. Setelahnya, proses memperoleh perizinan lainnya terus berlanjut hingga pada 2017 izin Hak Guna Usaha mereka dapat juga.

Berbagai upaya lobi hingga aksi demonstrasi kerap mereka lakukan. Di tengah demonstrasi itulah Rani melantunkan rayahnya. Termasuk saat mendatangi kantor Bupati Lamandau pada 8 Januari 2020.

“Apa gunanya si tukang jahit, jarum pun tenun menusuk jari.
Untuk apa tam bekerja sawit, bertahun-tahun menjadi kuli.”

Rayah Rani membuat gemuruh massa aksi. Ia tidak takut. Dengan pengeras suara ia lantunkan syairnya lantang.

“Mari kita jalan ke bukit, banyak orang menebas ladang.
Apa gunanya bekerja sawit, lima belas tahun membayar hutang.”

Rayah Rani berhasil menarik Bupati Lamandau Hendra Lesmana keluar dan menemui massa aksi, yang berasal dari masyarakat Kinipan, simpatisan, dan beberapa masyarakat Batu Tambun. Namun, bukannya memberikan dukungan apalagi solusi, bupati justru membuat warga patah hati.

Bupati menyatakan tidak bisa menghentikan begitu saja aktivitas perusahaan di hutan dan wilayah adat Kinipan.

“Orang yang diundang untuk berinvestasi, diundang untuk menanam modal di situ, tidak bisa kujuk-kujuk dengan tuntutan bapak-bapak kemudian saya suruh berhenti, saya suruh mereka tidak berkegiatan,” katanya. “Tidak ada dasar. Malah saya yang dituntut.”

Bahkan pernyataannya menyakitkan ketika bupati menyatakan, “Tidak ada hutan adat di Kabupaten Lamandau.” Pernyataannya ini langsung disambut riuh kekecewaan massa.

Keberadaan hutan adat dianggap nihil hanya karena tidak ada selembar surat pengakuan dari negara. Padahal, masyarakat adat sudah ada di sana sejak NKRI belum berdiri. Jika begitu, siapa dan disebut apa masyarakat Kinipan dan wilayah mereka hidup?

Setelah selesai berbicara, bupati masuk kembali, meninggalkan massa. Barisan Polisi langsung merapat seiring gerbang pagar kantor Bupati ditutup. Tidak ada celah. Teriakan pun tidak digubris.

“Kami kecewa,” kata Rani lemas. Meski harus pulang dengan sedih, Rani berjanji menolak menyerah. Perjuangan akan tetap dilanjutkan dengan atau tanpa dukungan dari bupati atau pemerintah.

“Itu keinginan Ongah Rani sendiri. Dia kesal melihat hutan sudah gundul, kayu mereka ambil. Hasilnya semua buat perusahaan, tidak ada kontribusinya untuk masyarakat,” kata Berkat. “Saking kesalnya, ia melantunkan rayah itu.”

Sebagai tokoh masyarakat, Berkat mendukung penuh jalan perjuangan yang Rani pilih. “Saya mendukung rayah menjadi alat perjuangan bagi perempuan Kinipan,” katanya. “Karena apa pun bentuknya, itu akan sangat bermanfaat bagi kami untuk perjuangan ini.”

Berkat juga mengatakan bahwa Kinipan tidak hanya sedang berperang dengan perusahaan tetapi juga pemerintah. “Kalau kita tidak bermasalah dengan PT SML, mungkin sudah sejak lama kita dibantu,” Berkat terdiam sesaat. “Tapi karena ini dengan SML, bupatinya punya mereka, gubernurnya juga punya mereka.”

Hubungan kekerabatan antara pejabat dan pemilik perusahaan sebenarnya bukan rahasia lagi. Berkat hanya mengemukakan fakta. Kebenaran yang selama ini tabu diungkap ke publik.

Tutupan pepohonan bagai tirai menaungi perahu sepanjang perjalanan menuju ladang Ongah di sungai Inuhan.

SEMENTARA itu, dari atas perahu, Kinipan tampak tak berubah. Di kiri dan kanan masih rimbun pepohonan tinggi yang batang-batangnya menjorok ke sungai. Bagai surai, daun-daunnya menggantung cantik. Beberapa pohon bahkan dihiasi bunga-bunga warna merah terang.

Hembusan angin menerpa wajah seiring laju perahu. Gemericik air menyentuh tangan saat cesh berpapasan dengan perahu lain. Meski mesin diperlambat, riak gelombang kecil masih mampu menggoyang lembut seisi perahu.

Beberapa penjala ikan kami temui di beberapa titik Sungai Batang Kawa. Senyum seakan jadi keharusan untuk menyapa satu sama lain. Bagi yang beruntung, ikan seukuran 3-4 jari orang dewasa menempel pada jaring jala. Bagi yang tidak, terpaksa hanya bisa membersihkan dedaunan.

Sekitar setengah jam, cesh kami berbelok ke aliran sungai yang lebih kecil, meninggalkan Sungai Batang Kawa. Tutupan pepohonan rindang memayungi kami.

Namun, tak lama. Kami harus mendorong perahu karena sungai terlalu dangkal. Hingga sampai di suatu titian tempat menambatkan perahu. Kami mulai menggendong semua barang bawaan masing-masing.

Ongah Rani dan Inus memanggul kampit, tas keranjang dari rotan yang talinya mereka sampirkan di pangkal kepala. Bekal dan semua barang kebutuhan ditaruh di sana. Keduanya santai membawa kampit sambil berjalan melawan aliran air berpasir yang sesekali menambah berat langkah kaki.

Meskipun sambil memanggul kampit di kepala, Ongah Rani kuat berjalan menyusuri sungai Inuhan.

“Ini Sungai Inuhan itu,” kata Ongah Rani sambil terus berjalan.

“Dari dulu kami selalu berladang di wilayah sungai ini. Karena ini memang turun-temurun digunakan oleh orang tua kami,” lanjut Ongah lagi. “Hanya tiap tahun pindah-pindah lokasinya tapi masih tetap di Inuhan.”

Sistem perladangan di Kinipan tidak jauh berbeda dari perladangan masyarakat Dayak umumnya. Ada yang menyebutnya ladang berpindah, ada juga yang bilang ladang gilir-balik. Intinya, ladang di daerah perbukitan dibuka dengan membakar dan kemudian ditanami bibit padi gunung. Setiap tahun lokasinya berpindah-pindah, tidak menetap seperti menanam padi sawah.

Namun, lokasi yang digunakan sebenarnya hanya berulang, bukan membuka lahan baru. Lahan yang sudah pernah digunakan berladang, ketika sudah hijau digunakan lagi untuk menanam padi. Sementara lahan lain diistirahatkan, dibiarkan hijau kembali. Begitu terus.

Hutan di luar wilayah perladangan tidak disentuh. Masyarakat secara alami sudah mengatur dan menentukan zonasi. Hal inilah yang dilanggar oleh PT SML ketika mereka menggarap hutan adat Kinipan.

“Di sini kami pernah dapat ikan mati,” kata Ongah Rani sesaat sebelum kami menginjakkan kaki di tanah.

“Baru kali itu kami dapat ikan mati. Sebelumnya mana pernah. Semenjak perkebunan kelapa sawit itu ada saja. Mungkin oleh racun yang mereka semprot di kebun itu,” kata Ongah lagi. Racun yang dimaksud Ongah Rani adalah pestisida.

“Setelah kejadian itu kami sudah tidak berani lagi minum air Sungai Inuhan ini. Takut,” ungkapnya. Bahunya bergidik.

Perkebunan kelapa sawit berada di bagian hulu Sungai Inuhan. Aliran air dari atas turun ke hilir. Maka kekuatiran Ongah cukup beralasan. Jika ikan saja mati, entah dampak apa yang manusia dapatkan.

Selama perjalanan, kedua anjing Ongah terus mengiringi. Terkadang satu di depan, satunya lagi di belakang. Keduanya berlarian bersamaan di depan sesekali, tampak nyaman di hutan.

“Di sini masih bagus ya Ongah,” kataku. Tutupan pepohonan tak terlalu rapat namun rindang. Pohon durian tinggi menjulang. Barisan semut hitam besar sesekali membelah jalur jalan setapak. Jarak langkah terpaksa diperbesar bila bertemu kawanan semut ini. Gigitannya sakit, rasanya seperti tersulut api.

“Iya di sini, tapi di sana sudah tidak,” tangannya menunjuk ke depan.

“Ingat dulu waktu kita berayah di konsesi?” tanyanya. “Tidak jauh lagi, kurang dari setengah jam sudah perkebunan itu. Mereka membuka hutan semakin dekat ke sini, ke areal perladangan kita. Kalau tidak cepat kita hentikan, bisa habis Sungai Inuhan ini.”

Benar ingatan Ongah. Pada 17 September 2019 kami sempat masuk ke konsesi PT SML.

Tampak balur-balur untuk perkebunan kelapa sawit yang menggunduli hutan Kinipan.

Udara terasa kering menyengat kulit. Tandus tanpa satu pun pohon. Tanahnya berwarna cokelat oranye yang mudah melayang bagai gumpalan debu saat diterpa angin.

Perusahaan ini secara administrasi tak menyalahi aturan bila dilihat dari atas kertas. PT. SML memegang izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit untuk lahan seluas 19.091,59 hektar yang diberikan pada 2017, mencakup di tiga Kecamatan berbeda yaitu Batang Kawa, Lamandau, dan Delang. Namun, di lapangan lain lagi ceritanya.

Di konsesi, balur-balur yang sebelumnya penuh tumpukan kayu dan ranting kini mulai ditumbuhi tanaman sawit muda. Hamparan tanaman sawit berjajar, melingkar, dan tersusun bagai terasering perbukitan.

Gersang, sangat gersang dan menjadi lebih dramatis karena kabut menyelimuti tempat ini. Kabut sisa pembakaran lahan yang tak lebih dari dua hektar untuk wadah menanam padi pengganjal perut masyarakat.

Akuy, kaya ini (Aduh, seperti ini),” ucap Saudi, salah satu dari delapan orang Kinipan yang datang bersama kami. Bapak dua orang anak ini hening, begitupun kami. Sama-sama terpaku memandang hamparan lahan perkebunan dengan tatapan sayu.

“Jadi begini sudah,” kata Ongah Rani. Bersama kami ada dua orang asing yang ikut khusus untuk mengambil gambar keadaan hutan Kinipan. Salah seorang dari mereka mengumpat kesal dalam bahasa Inggris setelah melihat rusaknya hutan yang berganti menjadi sawit.

Dalam diam, aku teringat kedatanganku pertama kali bulan Januari lalu ke lahan ini. Saat itu, masyarakat Kinipan mendatangi konsesi untuk melakukan aksi protes dan menyampaikan pernyataan sikap atas masalah perselisihan tapal batas antara Desa Kinipan dan Karang Taba.

Bupati Lamandau diangap semena-mena karena tidak menghormati proses yang sedang berlangsung di masyarakat. Sebab, ia menarik kesimpulan dan menentukan sendiri letak tapal batas dengan memasukkan konsesi ke wilayah Karang Taba. Sementara Karang Taba selama ini tidak menolak PT SML dan cenderung mengikuti perintah bupati.

Penentuan letak tapal batas oleh bupati merugikan Kinipan. Deforestasi yang dilakukan PT SML dianggap tidak terjadi di wilayah Kinipan tetapi Karang Taba. Padahal, sejak zaman nenek moyang, wilayah tersebut adalah milik Kinipan. Memasukan konsesi ke wilayah Karang Taba berarti membenturkan masyarakat dengan masyarakat.

Kuin Tibung, salah satu tokoh adat masyarakat Kinipan, sedang berdiri disamping gelondongan kayu dari hutan Kinipan yang ditebang PT SML.

Ketegangan juga meningkat saat melihat balur-balur tempat penanaman sawit ternyata sudah dibuat meski belum seluas sekarang. Bahkan, ada yang sudah ditanami. Sementara puluhan hingga ratusan bibit sawit lainnya di dalam polibek ditumpuk begitu saja. Gelondongan-gelondongan kayu besar yang sudah ditebang dan diberi nomor juga masih tampak.

Namun, hari ini jauh lebih buruk. Pembukaan lahan semakin meluas hingga menjalar ke areal berkebun dan berladang masyarakat di sekitar Sungai Inuhan. Jika dulu butuh waktu hampir satu setengah jam berjalan kaki dari Sungai Inuhan ke areal konsesi, sekarang hanya sekitar satu jam. Miris.

Tampak deforestasi untuk perkebunan PT SML di hutan Kinipan.

KESUNYIAN pecah saat dua petugas jaga perusahaan datang. Motor mereka taruh tak jauh dari tempat kami berdiri. Saat mendekat dan berhadapan, wajah mereka masih kekanakan. Sekitar usia 20 tahunan.

Mereka bercakap-cakap dengan bahasa mereka. Ongah Rani mengomel. Sementara yang lain menimpali. Tak lama keduanya berbalik, mengendarai motor, dan melaju naik ke atas areal perbukitan di mana pondok jaga perusahaan tampak mungil di ujung sana.

“Mereka bertanya untuk apa kita di sini,” kata Ongah Rani sesaat setelah kedua petugas itu pergi. “Kami bilang ini tanah kami! Kenapa kami tidak boleh ke sini? Justru mereka yang harusnya ditanya kenapa bisa ada di sini,” omel Ongah.

“Jangan takut. Kita lanjut saja,“ kata Pak Saudi menimpali. “Mereka masih muda, tidak tahu apa-apa. Hanya disuruh.”

“Bapak kenal mereka? Kenapa bisa nyambung bahasanya?” tanyaku. Aku penasaran karena tadi mereka sama-sama menggunakan bahasa Dayak Tomun.

“Tidak. Tetapi perusahaan itu kan mengambil orang-orang dari desa sekitar sini. Mereka dari Kecamatan Delang, sama saja bahasa kami,” Darius yang menjawab. Salah satu pemuda Kinipan yang ikut bersama kami.

“Makanya itu, kami diadu perusahaan dengan sesama kami,” timpal Ongah Rani. Garis wajahnya turun dan matanya berubah sendu saat mengatakan ini. Berbeda dari ekspresi kesal yang sebelumnya ia tunjukan.

Banyak yang ingin Ongah tumpahkan. Kekesalan hatinya, serta kesedihannya melihat hutan Kinipan sekarang.

Ia kemudian duduk pada sebatang kayu yang telah ditebang. Berlatar belakang lahan perkebunan sawit yang kering dan gersang. Tercipta saat itu juga, rayah Ongah dilantunkan.

Ongah Rani sedang melantunkan rayahnya tepat di konsesi PT SML.

“Kami berangkat ikut ke hutan rimba, layang tam kaki, semua berjalan kaki.
Minta tam sambut, surat kami minta terima temuai, penuh berisi tam hati tam kata hati.”

Nada meliuk dan mendayu. Tangannya memegang pisau kecil dan menyerut semacam rotan. Sementara semua hening mendengarkan kecuali kedua rekan asing kami yang fokus merekam gambar dan suara Ongah.

“Kami berpesan untuk kita semua, rasa dahaga melepaskan rasa dahaga,

Ongah berhenti sesaat pada lirik ini. “Itu artinya kita duduk tadi,” katanya menjelaskan. Sebelumnya kami memang sempat berhenti sebentar untuk mengisi perut dengan bekal yang kami bawa. Kemudian ia melanjutkan lagi liriknya.

Kami berpesan media pada media temuai, konflik agraria tuntaskan minta tuntaskan.”

Tidak berhenti, setelahnya Ongah terus melantunkan beberapa rayahnya lagi.

“Apa gunanya si tukang jahit, levis kainnya mahal.
Apa gunanya ini berkebun sawit, tanahnya dikikis ulin dijual.”

“Apa gunanya si tukang jahit temuai, jarum pun tenun menusuk jari temuai.
Apa gunanya kita berkebun sawit, bertiap tahun menjadi kuli temuai.”

“Untuk apa surat undangan, bentuk barisan Dayak Bersatu.
Untuk apa hutan disayang, untuk warisan ke anak cucu niwai.”

Sesaat Ongah berhenti. Matanya sesekali berputar ke kiri dan kanan. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat agar pesan dan makna yang ia sampaikan dapat dipahami dengan baik.

“Ooooi…Mari kita jalan ke bukit, banyak orang menebas ladang.

Rayah Ongah kembali dilantunkan. Selanjutnya, nada suara Ongah tinggi dan lantang. Berusaha mempertegas pesan yang ia sampaikan.

Untuk tam apa kerja di sawit, lima belas tahun membayar hutang.”

“Barang titipan basah, dijual harganya murah.
Biar Kinipan orangnya susah, asal tanahnya jangan dijarah.”

“Angkut barang ke Tapin Pasir, barang diangkut berpecah belah.
Biar orang bilang kami mubajir, tidak am kalah tidak menyerah.”

Hening. Ongah mengakhiri rayahnya. “Sekian.”

Bagi Ongah, inilah bentuk kontribusi perjuangannya untuk Kinipan. Bukan adu fisik, tetapi suara dan kata-kata yang ia tuangkan semua dalam karya rayahnya.

Konsesi itu, tempat rayah juang dilantunkan, saat ini untuk sementara berstatus quo atau tidak boleh dilakukan pembukaan lahan baru. Ini akibat dari desakan dan aksi protes terus-menerus Rani dan masyarakat Kinipan. Namun, aktivitas perkebunan masih dapat dilakukan perusahaan terhadap lahan yang telah mereka garap dan tanami sawit.

Artinya hutan dan wilayah adat Kinipan seluas 16.132,85 hektar masih belum aman sepenuhnya. Sebab, PT SML mengklaim mereka telah mendapatkan izin dari pemerintah untuk membuka hutan Kinipan seluas 5.111 hektar. Hingga saat ini, baru kurang lebih 1.800 hektar yang mereka garap. Ancaman deforestasi masih mungkin kembali terjadi.

Ongah Inus menunjukkan jenis-jenis tanaman yang ada di ladangnya.

SETELAH hampir satu jam berjalan lurus, Ongah berbelok ke sisi kiri jalan. Semak-semak rimbun menutupi jalan setapak kecil. Semakin masuk, pemandangan semak berganti dengan tanaman sayur-sayuran mulai dari rimbang, labu, sentimun atau timun, cabe, hingga tebu telur.

Aku menepis beberapa rumput tinggi yang menutupi jalan. Di hadapan, pada tanah berbukit, tanaman padi menghampar hijau dari ujung di atas hingga ke bawah. Seperti dunia yang tersembunyi, ladang Ongah terbuka dan dikelilingi pepohonan bagai pagarnya.

“Kita ke pondok dulu ya,” kata Ongah Rani. Di kaki bukit padi, pada tanah landai, ada pondok kecil dibangun bertongkat tinggi yang terbuat dari kayu dan gabungan terpal. Terasnya dari susunan kayu-kayu galam dan beberapa potong ulin.

“Diinjak kayu ulinnya ya, galamnya sudah jabuk (lapuk),” kata Ongah Inus mengingatkan kami sebelum naik ke pondok.

Kata Ongah Inus, pondok ini sengaja dibangun tinggi untuk menghindari gangguan binatang liar, terutama pada malam hari.

Tampak pondok Ongah Rani dan Inus yang memang mereka bangun khusus di ladang sebagai wadah beristirahat

Di dalam pondok, seperempat ruangan diisi oleh tumpukan karung-karung padi dan kampit-kampit yang digantung. Pada bagian kiri ruangan ada tungku memasak dan rak piring kayu. Seketika pondok penuh karena diisi oleh delapan orang.

Ongah Rani dan Inus biasa tinggal di pondok ketika musim berladang. Sekitar 15 tahun terakhir, mereka hanya bertani ladang. “Tidak ada kerjaan lain, hanya sebagai ibu rumah tangga dan petani,” aku Ongah Rani.

Air mendidih. Ongah Rani mengangkat panci di atas tungku berbahan bakar kayu. Pelan-pelan ditumpahkan air ke dalam gelas-gelas seng berisi kopi hitam. Asap mengepul. “Minum dulu ya, kita istirahat sebentar.”

Tiba-tiba hujan turun. Sambil menunggu reda, sekitar satu jam kami habiskan untuk mengobrol lepas.

“Dengan berladang kami membesarkan lima anak kami,” ujar Ongah Rani.

“Tidak ada kemampuan kami untuk usaha lain selain berladang. Dari menanam padi, kami dapat makan. Hanya dengan memetik sayur di ladang, rasanya sudah sejahtera luar biasa. Kalau ada lebihnya dibawa ke laman (kampung) untuk dijual. Itulah sukacitanya hati kami.” Matanya berbinar. Senyum tipis menghiasi wajah Ongah.

Ladang padi Ongah Rani yang dipagari pepohonan.

Namun, kehadiran perkebunan kelapa sawit mengubah segalanya. Tidak bisa menutup mata, ia dan suaminya dipaksa keadaan dan mulai aktif dalam perjuangan.

“Kami berdua ini hanya orang kecil. Apalagi suami tidak terlalu bisa mendengar, tapi hatinya luar biasa menyayangi hutan ini.” Perlahan nada ceria dalam perkataan Ongah berubah sendu. “Tidak hanya tentang kami, berulang-ulang kali sudah kami pikirkan. Nanti, bagaimana anak cucu cicit kami hidup? Di mana lagi mereka jika hutan ini habis?”

Ongah menghembuskan napas pelan, mengambil jeda. “Pokoknya, dalam perjuangan Kinipan, kami selalu ikut.”

Prinsip Ongah satu. “Ke mana pun langkah kita, jika kita melangkah dalam nama Tuhan Yesus, itu pasti berhasil. Kalau kita benar, doa orang benar itu pasti berhasil. Itu prinsip kami.”

Satu pertanyaan yang telah lama aku simpan, akhirnya kutanyakan ke Ongah. “Lalu, kenapa Ongah memilih berayah?“

Ia tersenyum. Berbanding terbalik dengan raut sedih yang tadi ia tunjukkan. “Itu keluh kesah hati ini, memang suatu rintihan, suatu doa,” jawab Ongah.

“Kalau datu kami dulu dijajah Belanda. Kain, garam, pisau, minyak, dirampas dan dikumpulkan oleh para penjajah dulu. Kita disuruh kerja rodi. Sekarang, kembali lagi seperti penjajahan Belanda. Padahal, tahun 1945 kita sudah merdeka, tetapi rupanya terulang lagi menjajah hutan ini. Di situlah aku merasa sedih.”

“Kita di sini, di Kinipan, dijajah,” Ongah menekankan sekali lagi. “Tetapi, kami tidak mau dijajah. Tidak mau jadi kuli di tanah sendiri. Makanya aku mengarang pantun, aku berayah. Itulah bentuk perlawananku.”

Deforestasi dan eksploitasi dilakukan oleh PT SML. Pohon-pohon hutan ditebang. Padahal, kayu keras seperti ulin dan meranti butuh waktu lama untuk dapat tumbuh tinggi dan besar. Dalam sekejap semua gundul, rata dengan tanah kuning.

Tampak konsesi PT SML tahun 2022 yang sudah berubah hijau ditumbuhi tanaman kelapa sawit.

Masyarakat tidak dapat apa-apa. Bahkan, mereka tidak tahu ke mana perginya kayu-kayu itu dibawa perusahaan.

Tidak hanya menghilangkan tutupan hutan Kinipan yang rimbun, aktivitas perusahaan juga mengusir satwa yang telah lama hidup di hutan ini. Dari hasil Laporan Survey Populasi dan Pengelolaan Konservasi Orangutan di Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT SML yang dilakukan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) tahun 2015, ditemukan ada 28 sarang orangutan. 14 sarang berada di dalam jalur transek, sisanya dijumpai di luar jalur transek. Diperkirakan ada 23-25 orangutan di sana.

Selain orangutan, ada juga jenis satwa lain yang dilindungi seperti kalaweit atau wak-wak, beruang madu, hingga kancil. Lalu ke mana perginya mereka ketika hutan sudah habis dibabat seperti sekarang? Pohon-pohon sawit tidak bisa menggantikan tempat mereka tinggal dan bernaung. Buah-buah sawit tidak bisa menggantikan sumber makanan mereka.

Benar kata Ongah Rani. Kinipan sedang dijajah.

Namun, perlawanan Ongah Rani dan masyarakat Kinipan tidak berjalan mulus. Justru masalah lain seakan sengaja dimunculkan untuk menjegal perjuangan mereka.

Tercatat setidaknya dua kali sudah upaya kriminalisasi dilakukan terhadap masyarakat Kinipan. Pertama, pada 2020, Effendi Buhing dan kelima orang lainnya ditangkap polisi. Buhing dituduh menyuruh kelima rekannya mencuri gergaji mesin milik perusahaan.

Penangkapan yang tragis dan tidak sesuai prosedur itu viral sampai nasional. Buntutnya, kurang dari 24 jam Buhing dibebaskan. Sedangkan kelima rekan lainnya, termasuk anak Ongah Rani, menyusul. Meski bebas, status mereka masih digantung. Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Praperadilan (SP3) belum pernah dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah Kalteng.

Lalu, pada 14 Januari 2022, Kepala Desa (Kades) Kinipan Willem Hengki ditahan dengan tuduhan korupsi dana desa. Bukannya dibenci, Willem justru dibela mati-matian oleh masyarakat Kinipan. Mereka yakin kadesnya bukan koruptor.

Setelah hampir lima bulan berjuang, Willem Hengki dinyatakan bebas murni oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya. Ia terbukti tidak bersalah. Banding yang diajukan Kejaksaan Negeri Kabupaten Lamandau juga tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Tunai sudah kebebasannya.

Willem, Buhing, dan kelima rekan lainnya adalah pejuang Kinipan. Mereka lantang bersuara menolak PT SML dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tanpa permisi mengizinkan perusahaan mengusik hutan dan wilayah adat Kinipan.

Tampak perbandingan hutan Kinipan yang telah digarap dan belum digarap oleh PT SML.

Inilah yang menjadi keresahan hati Ongah. “Padahal, kami pikir ini kan tanah kami. Orang masuk ke rumah paling tidak mengetok pintu dulu, minta izin. Tetapi ini kami tidak tahu. Mereka datang kujuk-kujuk membuka lahan di sana,” ucapnya lirih.

“Namun, kami tetap berupaya,” kata Ongah lagi. “Walaupun bupati bilang Kinipan tidak ada tanah adatnya. Padahal, dia bupati dan ketua Dewan Adat Dayak (DAD). Masa orang Kinipan ini tidak diakui ada tanah adatnya, orang yang beradat? Kami tidak terima perkataan itu.”

Lantang Ongah bersuara. “Kami punya adat, ada tanah adat. Ini peninggalan nenek moyang. Jadi, kalau kami ini dibilang tidak ada tanah adat, artinya kami ini dibilang tidak beradat, sama dengan binatang. Kami menolak!”

“Dulu katanya minta dipetakan, disuruh membagi di mana tanah adatnya, tempat berladangnya, tempat berburunya. Sudah dibuat petanya, tetapi sampai sekarang belum diakui,” lanjut Ongah mengungkapkan.

Tiga kali sudah dokumen pengajuan pengakuan untuk Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kinipan dikembalikan oleh Panitia MHA Pemerintah Daerah (Pemda) Lamandau. Alasannya selalu karena berkas tidak lengkap. Namun, belum pernah sekalipun Pemda turun mendampingi Kinipan, apalagi untuk memperbaiki berkas.

Hingga pada Juni 2022, ada sedikit hembusan angin segar untuk Kinipan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Pencadangan Hutan Adat Kinipan seluas 6.825 hektar. Hal ini disambut baik masyarakat meski pelaksanannya belum juga dilakukan oleh Pemda Lamandau. Tetap berkelit dan berbelit.

“Kenapa ditimpakan dengan kami orang Kinipan seperti ini?” keluhnya. “Hanya karena kami menyayangi hutan ini, mereka buat persoalan.”

Sedih. Hampir tidak tega bertanya lagi, tetapi kuberanikan. “Apa impian Ongah?”

“Pemerintah mengakui hutan adat kami dan tanah kami harus dikembalikan. Itu mimpiku, itu doaku,” jawab Ongah tanpa ragu. “Kami berdoa siang dan malam, itu yang kami katakan kepada Tuhan. Pokoknya, kami tidak mau hidup dijajah dan hutan kami habis.”

Satu hariku di ladang Ongah Rani dan Inus ditutup dengan makan bersama. Bersyukur masih bisa merasakan hasil ladang di hutan Kinipan.

Aku berharap umur Ongah panjang. Biarkan rayah juangnya terus mengiringi perjuangan Kinipan. Hingga suatu hari, seperti impiannya, ia bisa melihat keturunannya hidup sejahtera bersama hutan Kinipan.*

Ongah Rani, Inus, dan Yono saat berbicang dan bersiap akan makan bersama di dalam pondoknya

 

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo