Palangkaraya-Central Kalimantan [burning session]. Sudah lebih dari sebulan, kami di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah hidup dalam cengkraman asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan. Kesehatan warga terganggu, penyakit seperti pneumonia, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, iritasi mata, dan iritasi kulit makin banyak di rumah sakit dan klinik, bahkan ada korban jiwa melayang akibat tidak kuat menghirup udara kotor.
Anak-anak kami terpaksa libur sekolah karena pemerintah tidak bisa menyediakan sekolah yang memadai dan tidak sanggup menyediakan kondisi sekolah sehat untuk sekolah. Transfortasi dan perdagangan terganggu, kebutuhan bahan pangan dan lainnya terhambat distribusinya. Bahkan kegiatan keagamaan seperti orang yang mau berangkat Haji ke Mekkah juga terganggu karena harus terhambat transfortasinya.
Sudah lebih dari sebulan kami menjadi manusia-manusia yang harus bertahan hidup dalam udara kotor yang kalau di hitung dengan Indek Standard Particulat [PSI 10] mencapai 6 kali level berbahaya. Bayangkan saja, level berbahaya PSI adalah 350 pm. Kami pernah dan tidak jarang harus menghirup udara dengan PSI mencapai 2300 pm. Itu artinya melebihi level bahaya, dan dapat kami sebut sebagai level MEMATIKAN.
Kami berpikir bahwa kebakran hutan dan lahan (Karhutla) yang sering terjadi di Sumatera dan Kalimantan karena lemahnya penegakan hokum, pembiaran dan kurangnya pengawasan sehingga kebakaran hutan dan lahan terus berulang-ulang.
Sampai saat ini, Indonesia belum berhasil meredam kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun dan mengganggu lalu lintas penerbangan serta mengancam kesehatan penduduk. Kabarnya, berbagai upaya telah ditempuh untuk melakukan kerjasama regional dengan negara-negara tetangga, hingga kini tidak membuahkan hasil. Kebakaran hutan tahun ini [2015] diperkirakan menghasilkan tingkat polusi terburuk di kawasan Asia Tenggara
Kerumitan penanganan kebakaran hutan dan lahan terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten, nasional.
Tidak akan mudah bagi seorang bupati untuk menuntut (pembakar hutan), bisa jadi yang punya kebun kelapa sawit, membakar hutan, berhubungan dengan partai tertentu atau kuat di daerah, sehingga bupati atau gubernur tidak gampang bertindak, harus melihat konstelasi politik. Aktor-aktor tersebut, nampaknya bekerja seperti “kejahatan terorganisir”, dimana ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa. Namun tak hanya di tingkat pusat, pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staf perusahaan, pegawai di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah.
Saat ini Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono menyatakan, dari 10 perusahaan itu, ada 5 perusahaan yang diduga berperan dalam pembakaran hutan di Riau, 2 perusahaan di Jambi, dan 3 perusahaan di Kalimantan Tengah. Semua perusahaann itu bergerak di bidang perkebunan dan hutan tanaman.
Tetapi pihak industri perkebunan dan kehutanan menyalahkan para petani lokal yang disebut-sebut melakukan pembakaran hutan hingga tidak bisa terkontrol lagi. Kelompok-kelompok lingkungan mengeritik perusahaan pulp, kertas dan kelapa sawit tidak melakukan upaya apa-apa untuk mencegah kebakaran hutan, malah melakukan pembabatan hutan secara besar-besaran. Ironisnya polisi masih [dianggap] tebang pilih dalam menangkap pelaku pembakaran hutan karena berkaitan dengan perusahaan, sehingga sringkali hanya petani-petani kecil yang ditangkap, sementara perusahaan bebas berbuat. Selain itu, saat pelaku sudah berhasil ditangkap dan dihukum pengadilan, hukuman yang dijatuhkan dirasa tidak maksimal yang menimbulkan efek jera.
Pada beberapa media diberitakan bahwa Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti memiliki dugaan bahwa memang ada perusahaan yang ikut terlibat dalam kasus pembakaran tersebut. Sayangnya, untuk kasus saat ini belum bisa membenarkan keterlibatan perusahaan karena bukti belum terkumpul. Kalaupun Polri berhasil mengusut sejumlah kasus, Badrodin mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan tersebut, melainkan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selama ini pemerintah terkesan tidak serius dalam mengatasinya persoalan-persoalan kebakaran hutan / lahan beserta dampaknya dan menyediakan penampungan dan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang jadi korban. Selain itu, pemerintah juga harus berani melakukan evaluasi menyeluruh bahkan mencabut izin perkebunan yang terbukti telah membakar hutan, dan menangkap para pelakunya.
Konversi Hutan yang Mudah dan Murah
Bagaimanapun juga, kebakaran hutan dan lahan mempunyai korelasi positif dan sebangun dengan praktik konversi hutan yang massif untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan industry extraktif lainya. Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit misalnya, diyakini betul sebagai salah satu penyebab timbulnya praktik burning. Dengan alasan efektivitas waktu dan efisiensi biaya, maka pembakaran hutan dan lahan disinyalir menjadi pilihan untuk land clearing secara cepat dan murah.
Beberapa data menunjukkan bahwa kebakaran hutan selalu terjadi di lahan pada areal konsesi perkebunan kelapa sawit atau lahan kosong, namun kemudian kebanyakan dari lahan yang terbakar berubah menjadi kebun sawit beberapa waktu kemudian. Lahan tersebut ada yang sudah mempunyai Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPKH] ada juga yang masih bodong sama sekali, dimana kerap kali pembakaran juga dimaksudkan sebagai alibi untuk mempermudah ijin dengan alasan areal yang dimintakan IPKH adlah kawasan terdegradasi.
Baru-baru ini, bukanya menanggulangi kebakaran hutan dan lahan secara lebih serius, ujug-ujug pemerintahan regim Jokowi melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mempermudah regulasi dan perijinan untuk konversi hutan.
Alasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah untuk memberikan kemudahan investasi di kawasan hutan. Izin pelepasan kawasan hutan produksi dipersingkat dari 2-4 tahun menjadi 12-15 hari saja. Izin pelepasan kawasan hutan disederhanakan dengan mengubah Permenhut P.33/Menhut-II/2015 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi jo P.28/Menhut-II/2014. Kemudahan itu untuk membuat investasi jadi lebih menarik bagi dunia usaha.
Kisaran waktu itu diragukan memberi waktu cukup bagi petugas untuk memverifikasi dan menyelesaikan benturan konflik lahan di lapangan. Kekhawatiran muncul karena proses pelepasan kawasan hutan membutuhkan verifikasi lapangan. Kerap kali kondisi geografis dan cuaca jadi kendala untuk cepat dan akurat mengecek ulang lokasi yang diajukan pengusaha.
Seperti diketahui bahwa pengajuan izin pelepasan kawasan hutan membutuhkan juga rekomendasi gubernur/kepala daerah. Dalam konteks ini apakah Kementerian LHK dapat melakukan verifikasi dan mengecek dalam jangka waktu 12-15 hari. Hal ini perlu dipertimbangkan karena kadang-kadang daerah hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi serta melupakan aspek lingkungan dan sosial. Jika terjadi kelalaian dan kekurang hati-hatian, maka hajat hidup orang banyak jadi taruhan
Dengan melihat perkembangan penanganan kebakaran hutan dan lahan dan hubungannya dengan konversi hutan maka muncul pertanyaan mendasar, apakah kebakran hutan dan lahan yang kerap kali diakibatkan adanya konversi hutan untuk industry extraktif dapat dijawab dengan deregulasi / kemudahan perijinan pelepasan kawasan hutan dan lain sebagainya.
Kebakran hutan dan lahan semestinya jangan sampai terjadi lagi tahun depan, harus diambil langkah komprehensif, bukanya justru deregulasi konversi hutan yang diberikan. Ini sama saja dengan memberikan obat tetes mata kepada orang yang menderita diare. Keliru total.
Jika kebakaran hutan dan lahan ini dianggap hanya sebagai ceremonial tahunan yang merupakan bagian dari “peringatan hari asap dan bencana kebakaran tahunan” maka niscaya tahun-tahun kedepan, kami akan tetap menikmati aroma asap dari terbakarnya hutan tropis dan hutan gambut. [nordin-save our borneo]