Masuknya perusahaan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit ke kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) bisa berdampak serius pada komitmen RI pada dunia internasional. Betapa tidak, pemberian izin di areal ini
kembali mengancam dicabutnya status Cagar Biosfer TNTP ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 1977. Selain itu, keseriusan RI dalam komitmen Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) bakal diragukan. Kawasan itu memang APL tapi tidak serta merta bisa dialihfungsikan menjadi sawit, tetapi kondisi vegetasi hutan di areal tersebut masih bagus dan banyak dihuni orangutan. Meski status areal tersebut menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) karena terbitnya SK Menhut No 592 Tahun 2012. Namun kawasan tersebut masih terikat dengan Inpres No 10 Tahun 2011 tentang moratorium penerbitan izin.
Selain itu, TNTP dan sekitarnya mempunyai sederet status yang menjadi alasan cukup kuat untuk dipertahankan. Selain Cagar Biosfer, TNTP ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) melalui PP No 4 tahun 2004, Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui PP Nomor 26 tahun 2008, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Destinasi Pariwisata Nasional (DSN) melalui PP No 50 tahun 2011.
Hal lainnya, Surat Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer (BKPCB) Tanjung Puting saat ini sudah diajukan ke Gubernur Kalteng, sehingga tidak serta merta bisa dijadikan sawit.
Menurut Manajer Friends of the National Parks Foundation (FNPF) Basuki Budi Santoso, mengungkapkan kawasan tersebut merupakan kawasan gambut yang dilindungi peraturan berlapis di berbagai kementerian.
Lahan gambut harus dijaga karena mampu mengikat karbon di udara dan menyimpannya menjadi bahan organik berupa bagian dari tumbuhan. Ditambah lagi, Provinsi Kalteng telah ditetapkan pemerintah sebagai provinsi percontohan REDD+ yang otomatis harus menjaga lahan gambutnya.
Sementara itu, Bupati Kobar Ujang Iskandar menegaskan rencana masuknya PBS sawit ke Desa Sekonyer sudah seusai aturan. Pemkab Kobar memang telah mengeluarkan izin bagi perusahaan tersebut. Namun hal itu belum final. Pasalnya, izin tersebut masih harus diverifikasi dari pusat. Sebab ada bagian yang bisa dikeluarkan izinnya dan ada yang tidak bisa. Selain itu, pihaknya juga telah mengajukan pertimbangan teknis (Pertek) kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Ia menegaskan pihaknya tidak anti kritik. Namun diharapkan kritik yang dilontarkan harus disertai dengan solusi. Pemkab Kobar terbuka bagi semua pihak yang ingin berdiskusi mengenai solusi terbaik untuk mensejahterakan masyarakat Desa Sekonyer. Menurutnya, perusahaan tersebut menerapkan 30 persen untuk plasma dan 70 persen untuk inti, selain itu track record-nya cukup baik bisa bekerjasama dengan masyarakat Kecamatan Kolam (Kotawaringin Lama), itu salah satu pertimbangan kita.
Seperti diketahui, PT. ASMR yang merupakan anak perusahaan Bumitama Gunajaya Agro (BGA) telah melakukan pembukaan lahan dan penanaman sawit sejak bulan April 2013 meskipun hanya mengantongi Izin Lokasi dari Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar nomor 525/68/XII/2012
yang dikeluarkan pada tanggal 19 Desember 2012 lalu seluas 9.276,5 hektar yang berlokasi di Desa Teluk Pulai, Desa Sungai Sekonyer dan Kelurahan Kumai Hilir seberang Kecamatan Kumai.
Ironisnya, perusahaan ini bahkan belum mempunyai AMDAL yang merupakan syarat untuk mendapatkan Ijin Lingkungan. Menurut Hermayadi, Kepala Bidang Anailisis Dampak Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) AMDAL milik PT ASMR sudah diajukan dan masih dalam proses penyelesaian. Artinya masih belum selesai, karena ada beberapa poin yang masih perlu ditambahkan sehingga harus direvisi.
Menurut PT. ASMR pembukaan lahan di desa Teluk Pulai hanya baru sebatas pembibitan namun berdasarkan info yang diperoleh dan dokumentasi photo yang diterima redaksi, Desa Teluk Pulai setidaknya telah dibuka 250 hektar dan 150 hektarnya telah ditanami kelapa sawit yang telah berumur kurang lebih satu tahun.
PT. ASMR juga telah memasukkan beberapa ekskavator dan telah membuat kanal – kanal baru. Pada tahun 1995 Dinas Pekerjaan Umum kabupaten membuat kanal irigasi di desa Teluk Pulai. Kanal irigasi sepanjang 21 kilometer ini juga melalui desa – desa tetangga Teluk Pulai. Tujuan pembuatan kanal irigasi ini adalah untuk menunjang usaha pertanian di desa – desa tersebut. Berdasarkan pengamatan FNPF saat ini daerah – daerah yang dilalui oleh kanal irigasi yang dibangun pemerintah pada tahun 1995 itu sebagian besar telah dikuasai oleh perusahaan – perusahaan kelapa sawit.
PT ASMR yang merupakan subsidiary company dari BGA Group yang merupakan pemasok kelapa sawit bagi Wilmar International Group, grup perusahaan agribisnis yang berkantor pusat di Singapura. Sekitar 70% pasokan minyak kelapa sawit Wilmar Group berasal dari BGA Group dan 30% nya berasal dari BW Plantation [Wirendro Sumargo, Juru Kampanye Minyak Sawit Greenpeace].
BGA Group, sebuah grup perusahaan kelapa sawit yang memiliki 17 anak perusahaan termasuk PT. ASMR yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam laporan tahunan yang dirilis pada tahun 2012 lalu BGA Group mengklaim telah memiliki cadangan lahan seluas 200.000 hektar yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Riau. Perusahaan ini menargetkan untuk melakukan penanaman kelapa sawit seluas 15.000 hektar tiap tahun.
BGA Group telah menjadi anggota Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak tahun 2007. Pembukaan lahan kelapa sawit yang telah merusak hutan oleh perusahaan – perusahaan anggota RSPO membuat asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan ini semakin diragukan kelayakannya.
Tindakan perusahaan perkebunan seperti yang terjadi di Tanjung Putting ini susah seharusnya menajdia perhatian serius pemerintah daerah dan pusat untuk segera diselesaikan atau dibatalkan, agar jangan semakin mencoreng muka Indonesia di dunia internasional.