Search
Close this search box.

Dinamika Permasalahan Lingkungan & Masyarakat Adat di Kalteng, Mungkinkah Berakhir?

Permasalahan kriminalisasi, deforestasi, hingga bencana seperti banjir menjadi agenda tahunan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Bukannya berkurang, tiap tahun justru muncul polemik baru dengan akar masalah yang tak jauh dari soal lingkungan dan masyarakat adat. Lalu, mungkinkah dinamika permasalahan ini dapat diakhiri?

Pada awal tahun 2022, kita dikejutkan dengan penahanan Willem Hengki yang saat itu menjabat sebagai kepala desa (kades) Kinipan. Tuduhan kepada Willem tidak main-main yakni melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Anehnya, meski dituduh koruptor Willem justru mendapat pembelaan dari masyarakat Kinipan.

Bahkan, saat itu muncul banyak dukungan dan gerakan dari publik untuk membebaskan Willem. Salah satunya adalah Amicus Curiae yang ditulis Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama beberapa lembaga lain seperti ELSAM dan FITRA. Amicus Curiae sendiri adalah istilah bagi pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan, sebagaimana dijelaskan dalam situs Hukum Online.com.

Ribuan masa pasukan merah dan masyarakat kinipan menyambut Willem Hengky dengan gembira dia di bebaskan dari segala tuntutan oleh JPU.

Hingga pada bulan Juni di tahun yang sama, Willem diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Banyak yang percaya bahwa Willem sesungguhnya adalah korban kriminalisasi. Tuduhan korupsi hanya jalan untuk menjerat dan melengserkan Willem dari jabatan sebagai kades Kinipan. Pemikiran ini cukup masuk akal.

Mengingat sejak tahun 2018, penolakan masyarakat Kinipan terhadap PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) terus dilakukan. Mereka menolak hutan dan wilayah adatnya digarap untuk perkebunan kelapa sawit perusahaan. Alhasil, konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat tidak dapat dihindarkan.

Berbagai upaya juga sudah mereka lakukan untuk menghentikan perusahaan. Terakhir adalah memohon pengakuan dari Negara atas keberadaan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) demi memperoleh status Hutan Adat. Namun, bukannya mendapat pengakuan, justru di sela-sela usaha itu kasus Willem malah mencuat.

Sebenarnya, kriminalisasi bukanlah hal baru. Toh, hampir setiap tahun ada saja masyarakat yang di kriminalisasi. Berdasarkan catatan sementara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, setidaknya ada 38 warga di Kalteng yang menghadapi kasus kriminalisasi pada tahun 2022. Kriminalisasi ini disebabkan oleh konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan.

Maraknya industri ekstraktif memberikan sumbangsih besar terhadap terjadinya konflik agraria. MapBiomas Indonesia mencatat pada tahun 2019, dari luas Kalteng sebesar 15,3 juta hektar (ha), ada sebesar 2.167.450 ha tanah yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, 3.331.882 ha untuk kebutuhan pertanian lainnya, 224.168 ha untuk hutan tanaman, dan 184.007 ha untuk pertambangan.

Deforestasi diwilayah Kinipan dan sekitarnya untuk kepentingan industri Monokultur Sawit

Sementara itu, faktanya tidak semua perusahaan di industri ini mendapat dan membuka lahannya dengan cara yang legal. Perampasan tanah, penggundulan hutan, penggusuran ruang hidup masyarakat dan biodiversitas di dalamnya selalu jadi catatan buruk dari praktek penguasaan lahan oleh perusahaan. Karenanya, konflik agraria dan lingkungan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Lalu, apa yang terjadi jika kita kehilangan hak atas tanah? Konflik yang seringkali berujung pada kriminalisasi tentu saja. Selanjutnya, kerusakan lingkungan dan bencana.

Seperti efek domino, praktek buruk terhadap penguasaan lahan membawa kerusakan lingkungan yang juga masif. Sayangnya, pelaku utamanya ternyata tidak selalu perusahaan. Salah satu contohnya adalah Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate tanaman singkong di desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas.

Dari target 32.000 ha, Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah membuka hutan seluas 600 ha. Pembabatan hutan atau deforestasi ini mereka lakukan untuk mengganti tanaman hutan menjadi bibit-bibit singkong yang digadang-gadang akan dijadikan salah satu sumber pangan di Indonesia.

Kondisi Lahan Food Estate jenis singkong di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah

Bagaimana mungkin deretan pohon yang kokoh diganti menjadi batang-batang singkong? Meski agak menggelitik, tetapi realita ini yang terjadi di lapangan.

Kontroversi tentu membayangi program ini. Tidak hanya karena kemunculannya yang begitu cepat bahkan ketika Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) proyek masih dalam pembahasan, tetapi juga minimnya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat setempat. Pengakuan dari masyarakat pun bermunculan tentang ketidaktahuan mereka akan tanahnya yang dijadikan lokasi perkebunan singkong.

Selain itu, dari hasil monitoring Save Our Borneo (SOB) pada bulan Agustus 2022, lahan terbuka ini tidak lagi tampak terurus dengan baik. Singkong tidak tumbuh sesuai harapan, batangnya ramping dan umbinya pun kecil. Padahal, penanamannya sudah dilakukan sejak tahun 2021 lalu.

Batang Singkong dilahan food estate yang sudah berumur lebih dari enam bulan.

Kerugian lain yang diterima pasca deforestasi ini juga adalah banjir di desa Tewai Baru. Menurut masyarakat setempat, tepat setelah perkebunan singkong hadir menggantikan hutan, banjir sudah terjadi dua kali yakni pada tahun 2021 dan 2022. Bukannya panen singkong, masyarakat justru terpaksa memanen dampak ekolologis lain.

Jadi, sebenarnya untuk apa proyek ini dilaksanakan? Jika untuk ketahanan pangan Negara, mana hasil pangannya dan diberikan kepada siapa? Sejauh ini, belum ada jawaban dari Pemerintah.

Namun, desa Tewai Baru tidak sendiri menanggung bencana. Di daerah lain, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kotawaringin Barat (Kobar) malah lebih dulu merasakan dampak akibat hilangnya tutupan hutan di wilayah mereka. Bahkan, bisa dikatakan banjir sudah menjadi agenda tahunan.

Kotim dikelilingi oleh perkebunan sawit, mulai dari Sinar Mas, Musim Mas, Wilmar hingga banyak lagi grup besar lainnya. Kehadiran perkebunan ini turut berkontribusi atas hilangnya tutupan hutan di Kotim sejak tahun 2000 – 2019 sebesar 44,49% sebagaimana data yang ditampilkan oleh MapBiomas Indonesia.

Sementara nasib Kobar tidak jauh lebih baik. Masih bersumber dari MapBiomas Indonesia, tercatat dalam rentang waktu 2000 – 2019, Kobar kehilangan 38,47% tutupan hutannya. Jangan tanya kenapa. Tentu saja deforestasi untuk berbagai keperluan seperti perkebunan kelapa sawit masih menjadi penyebab utamanya.

Lokasi kebun sawit yang diduga melanggar ketentuan rencana tata ruang, karena dilarang menanam sawit dipinggiran sunga.

Namun, secara garis besar deforestasi memang terjadi hampir di seluruh wilayah di Kalteng. Jadi jangan heran bila mendengar kabar banjir yang terjadi di sana dan sini. Bahkan, tampaknya kita dipaksa untuk beradaptasi dengan bencana yang satu ini.

Alih-alih menyelesaikan akar masalah, Pemerintah lebih sering menyalahkan curah hujan tinggi sebagai penyebab utama. Memang apa penyebab curah hujan tinggi? Jika jawabannya adalah perubahan iklim, lalu mengapa perubahan iklim bisa terjadi? Selain kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri, adakah jawaban lain yang lebih tepat?

Seakan bersembunyi dari masalah, membagikan sembako dan uang lebih sering dilakukan sebagai solusi untuk para korban banjir. Memang cara ini cepat dan singkat, namun nol solusi. Setelah uang dan sembakonya habis, lalu para korban ini bagaimana? Tahun depan dan tahun selanjutnya banjir toh akan datang lagi.

Hendrawati, bersama anggota keluarganya di tenda terpal pengungsian yang mereka dirikan untuk tempat memasak dan beristirahat.

Penguasaan dan pegelolaan hutan atau pun lahan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun perusahaan sejauh ini terbukti hanya memperparah kerusakan lingkungan. Meski atas nama pembangunan dan pengembangan ekonomi, nyatanya selalu mengorbankan hak lingkungan dan hak asasi manusia.

Dalam hal ini juga, masyarakat adat menjadi salah satu penerima dampak yang signifikan. Keberadaan mereka seringkali digusur atau dianggap menghalangi ekspansi dan eksistensi dari perusahaan hingga program Pemerintah. Padahal, selama ini masyarakat adatlah yang berperan penting dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.

Meniadakan peran masyarakat adat sama halnya menghitung waktu kehancuran bumi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Direktur Jenderal IUCN atau Serikat Internasional untuk Konservasi Alam pada hari Masyarakat Adat Sedunia tahun 2019 lalu.

“Kita tidak dapat mencapai konservasi dan kesejahteraan bagi manusia dan planet kecuali kita menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat adat. Selama berabad-abad, masyarakat adat di seluruh dunia telah melestarikan sebagian besar keanekaragaman hayati bumi. Di ujung sejarah, di mana dekade selanjutnya dapat menentukan nasib spesies dan ekosistem planet ini, komunitas global harus sepenuhnya mengakui, menghormati, dan mendukung hak-hak masyarakat adat. Ini termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, spiritual, sosial dan lingkungan yang mereka tempatkan pada keanekaragaman hayati.”

Meskipun telah diketahui bahwa masyarakat adatlah pengelola dan penjaga lingkungan terbaik, tetapi tetap saja ruang gerak dan hidup mereka dibatasi. Di Indonesia, keberadaan mereka sebagai MHA masih harus meminta pengakuan dari Negara sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 Pasal 18b ayat 2. Padahal, faktanya mereka telah ada jauh sebelum Negara ini terbentuk.

Lalu, bagaimana mereka dapat mengelola hutan dan wilayah adat jika keberadaannya saja belum diakui? Apakah artinya selama ini mereka hanya penduduk ilegal? Memang ini aneh. Status kawasan yang seharusnya dikuasakan kepada mereka sekarang jadi tanggung jawab dan milik Negara.

Meskipun tidak serta merta memberikan kawasan secara cuma-cuma, tetapi dengan aturan-aturan lain tentang skema pemberian kawasan kepada investor. Namun, tetap saja sebagian besar masalah justru berawal dari sini. Ketika Negara menyerahkan suatu kawasan tanpa persetujuan masyarakat adat kepada investor, seperti contoh yang terjadi di Kinipan.

Padahal, IUCN mencatat bahwa ada sebanyak 80% dari keanekaragaman hayati hutan dunia yang tersisa terletak di wilayah masyarakat adat. Bahkan, tanah adat menyimpan setidaknya 24% karbon karena tanah mereka ini berada di hutan tropis dunia.

Persoalan-persoalan inilah yang menjadi catatan penting SOB. Melihat dinamika permasalahan lingkungan dan masyarakat adat yang tampak tak kunjung ada habisnya. Catatan ini masih tentang Kalteng, belum satu pulau Kalimantan apalagi satu Indonesia. Bayangkan betapa rumitnya?

Namun, kembali ke pertanyaan awal kita, mungkinkah permasalahan ini berakhir? Direktur SOB, M. Habibi, dalam hal ini menyampaikan bahwa menurutnya kemungkinan itu masih ada. Salah satu solusi paling nyata adalah mengembalikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat.

“Belum pernah ada sistem pengelolaan hutan sebaik kearifan lokal yang dipraktekan masyarakat adat. Ini yang seharusnya kita dukung,” katanya menegaskan. Solusi ini juga sekaligus akan menjawab keresahan kita terhadap permasalahn kriminalisasi, deforestasi hingga bencana.

Hanya saja, Habibi kembali mengingatkan bahwa hal ini juga tergantung kepada Pemerintah. “Mungkin bisa berakhir selama Negara mau. Tetapi, apakah Negara punya niat untuk menyelesaikannya? Pasti akan banyak kaum elit dan borjuis yang akan tertindas. Siapkah Negara mengorbankan mereka?” tutupnya. (P.Juliana/Habibi)

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo