Aleng mempunyai lahan yang ditanami sawit perusahaan PT. Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). Namun, lahan ini bersengketa. Perusahaan pun tak lagi merawat, sementara Aleng pun keluar dari kemitraan. Tanahnya tak terkait lagi dengan perusahaan. Siapa berkuasa?
Sidang Aleng dkk berjalan untuk kelima kalinya (1/8/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Agendanya adalah pemeriksaan saksi-saksi Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Hampir setiap sidang, pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam solidaritas untuk Kinjil, beserta keluarga Aleng berdiri memegang spanduk berisi harapan, protes, sampai kecamanan di depan gedung pengadilan ini. Namun, aksi mereka tak pernah masuk tepat di pintu rumah gedung. Ada pagar besi dan luasnya taman yang membatasi suara. Aparat juga banyak. Mulai dari petugas keamanan, polisi, sampai pernah juga Satpol PP.
Kali ini tak hanya orasi, mereka membawa satu polibek berisi tanaman sawit setinggi pinggang orang dewasa. Tepat di depan tulisan gedung PN Pangkalan Bun yang tertempel di dinding keramik, mereka taruh tanaman itu.
Beberapa orang tampak memperbaiki posisi tanaman, sementara Ahmad Supriandi (24 tahun) sibuk mondar mandir memegangi pengeras suara. Si kordinator aksi ini mulai menjelaskan maksudnya. “Jika tanaman sawit ini dirusak,” katanya memulai. “Kita bisa pidanakan (orangnya). Tidak peduli tanah siapa di sini,” tegas Andi.
Bukan bermaksud mengancam aksi Andi. Ia hanya menganalogikan kisah Aleng dkk yang dituduh mencuri 50 janjang buat sawit oleh PT. BGA. Di dalam setiap kesempatan, JPU juga selalu menyampaikan hal serupa. Perusahaan yang menanam, maka perusahaan yang berhak menamen. Bagaimana dengan status kepemilikan lahannya?
Dinar Okti (31 tahun) salah satu peserta aksi juga menyampaikan hal serupa. “Jika siapa yang menanam maka dia adalah pemiliknya, maka jika kami pun menanam pohon sawit di depan pengadilan artinya ini adalah milik kami. Pihak pengadilan tidak bisa membersihkan atau pun merusaknya. Kami juga bisa tuntut,” tegas perempuan berjilbab ini.
Memang narasi inilah yang selalu digunakan JPU dalam mendakwa Aleng dkk. Tanpa melihat sejarah lahan, argumetasi tentang tanam-tumbuh sawit selalu dijadikan tameng yang menggiring Aleng (58 tahun) beserta kedua rekannya Suwadi (40 tahun) dan Maju (51 tahun) diancam pasal tindak pidana pencurian pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP dan 362 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jika begitu, tidak ada kuasakah si pemilik lahan? Padahal, Aleng adalah asli warga Kinjil. Jauh sebelum perusahaan masuk, Aleng sudah memiliki hak atas tanah yang ia kelola dan tanami juga selama ini. Hanya karena investasi perusahaan, apakah hak Aleng akan hilang begitu saja?
Harapannya tentu saja tidak. Namun, di persidangan Majelis Hakim yang punya otoritas tertinggi untuk mengetuk palu, menentukan siapa yang benar dan salah. “Karena itu, kami berharap pengadilan ini obyektif, transparan, dan adil,” kata Dinar menyampaikan harapan bagi kebebasan Aleng dkk. (P. Juliana)