Proyek CPO dan Kehancuran Hutan

Usaha perkebunan, khususnya kelapa sawit terbukti cukup tangguh bertahan dari hantaman badai resesi dan krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia. Peranan perkebunan sangat penting terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Saat krisis pangan, bahan bakar, harga minyak yang selangit, justru harga kelapa sawit mentah (CPO) melambung, sehingga membuat sektor perkebunan jadi primadona selain tambang. Di sisi lain luasan lahan yang dibutuhkan bagi perkebunan kelapa sawit semuanya ada di hutan. Dan beberapa terakhir ini investor berlomba mengkonvensi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Seperti diketahui dunia lagi berlomba-lomba mencari tenaga alternatif energii. Salah satunya adalah CPO yang menjadi komiditas yang telah didorong oleh pengembangan biofuel dari negara-negara maju di Eropa. Perusahaan-perusahaan besar dunia penghasil kosmetik, makanan dan bahan bakar menjadi konsumen besar kelapa sawit yang diekspor dalam bentuk CPO.
Masalah yang muncul dalam praktek perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan kelapa sawit tidak ramah lingkungan dan terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Kalimantan Tengah, adalah pusat perkebunan kelapa sawit. Telah banyak manfaat yang dicapai daerah tersebut. Tetapi juga banyak persoalan dengan masyarakat setempat dan lingkungan sampai sekarang. Yang paling membuat hati miris adalah keinginan Pemerintah Dearah maupun Provinsi untuk merubah kawasan hutan menjadi perkebunan sawit agar mendapat nilai lebih bagi masyarakat setempat (begitu kira-kira katanya).
Perluasan perkebunan kepala sawit tidak akan jadi masalah besar apabila yang dipakai adalah kawasan hutan gundul/hutan yang diterlantarkan oleh HPH. Namun yang terjadi, pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit telah merambah hutan primer dan lahan gambut. Bahkan ada pengusaha yang dapat ijin perkebunan hanya ambil kayu di hutan primer.
Pembakaran dalam pembukaan lahan merupakan masalah terbesar bagi dunia dari segi emisi karbon. Indonesia merupakan penyumpang emisi (gas rumah kaca/ GRK) nomor 3 bagi dunia akibat penghancuran hutan dan kebakaran di lahan gambut.
Menurut Lord Nicholas Stern mantan pakar ekonomi Bank Dunia, emisi tanaman dari lahan gambut sekitar konsesi perkebunan kelapa sawit 1 persen dari total emisi global. Sekitar 22,5 juta hektar diantaranya sudah dibuka, sehingga menyebabkan emisi GRK besar-besaran. Sebagai gambaran, pengeringan lahan gambut tropis dengan kedalaman 1 meter per hektar per tahun menghasilkan emisi 80-100 ton Co2 (gas ekuivalen untuk GRK).
Kerusakan hutan di Kalimantan yang sudah mencapai 60 % lebih. Salah satu akibat dari perluasan perkebunan kelapa sawit yang merupakan usaha kerja sama pemerintah yang memberi ijin dan pengusaha. Dampak selanjutnya apabila para produsen, pemasok dan industri pengguna minyak kelapa sawit dunia tidak segera mengusahakan penghentian pengrusakan hutan, maka praktik industri yang tidak berlanjutan akan menimbulkan beban karbon yang sangat besar dimasa depan. Tentuya, bencana telah kita wariskan kepada anak cucu.
Perkebunan menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bunyinya ”segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengelolah dan memasarkan barang dan jasa hasil dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”.
Dari fungsi perkebunan pada pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2004 yakni:
1. Ekonomi yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;
2. Ekologi yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung; dan
3. Sosial budaya yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Pengelolaan hutan bertolak pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang penguasaan sumber daya alam (hutan) oleh negara yang di dalamnya mengandung asas tanggung jawab negara. Asas ini mengandung suatu kewajiban negara untuk menjamin, bahwa hutan dapat menjadi sumber dan menunjang kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat baik untuk generasi masa kini maupun masa depan.
Konsep pembangunan berlanjutan (sustainable forest) yang modern adalah pemeliharaan dan pemanfaatan hasil hutan secara bijaksana. Konsep ini pada hakekatnya adalah gabungan dua prinsip kuno yang telah ada yaitu :
1. Kebutuhan untuk merencankan pengelolaan hutan yang berdasarkan pada investarisasi yang akurat;
2. Kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk menjamin agar supaya hutan tidak habis.
Dalam pasal 25 ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2004 dalam upaya pelastarian fungsi lingkungan hidup, bahwa sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib:
1. Membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup da upaya pemantuan lingkungan hidup;
2. Memiliki analisis dan menejemen resiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetil;
3. Membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untk memenanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengelolaan lahan.
Yang perlu dicermati dalam praktek perkebunan kelapa sawit adalah tata kelola pemerintah daerah yang buruk, tidak mengacu pada tata ruang, melabrak hutan konservasi, Itu pun masih ditambah dengan perilaku birokrat pemda yang tidak mempunyai wawasan konservasi. Mereka hanya berpikir sesaat, yang penting dapat PAD. Di sisi lain, petani kelapa sawit tetap menderita karena upah murah, terjadi penyerobatan lahan masyarakat adat yang memicu konflik.

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo